2 Januari 1492 Jatuhnya Andalus Dari Kaum Muslimin
2 Januari 1492
Hari pertama tahun baru 2018 kami tiba di Granada. Esoknya, tepat tanggal 2 Januari fajar menyingsing dalam balutan kabut tipis dan menyelimuti hampir seluruh sudut kota. Granada menyambut kami dengan bisu, suasana hening seperti sedang berkabung.
Rashif atau jalan sempit berbatu yang tertata rapi dan bersih, warisan peradaban Islam di pemukiman Albayzin mengantar langkah-langkah kaki kami menuju mirador. Deretan tembok carmen dan patio yang kami lewati seakan berbisik halus dengan getar ketakutan, “Hari ini, di tahun 1492, kami kehilangan harapan terakhir mempertahankan bumi Andalus. Kami, para kesatria, menjadi saksi para pengkhianat risalah umat menyerah dengan hina kepada penguasa Nasrani!”
Di mirador, pemandangan indah istana Alhambra dan taman Generalife tampak tidak biasa. Alhambra hari ini bukan lagi milik Bani Nashr dan kebanggan penduduk Albayzin. Tanpa masjid, tanpa alunan azan yang mengumandang. Kini, sebuah menara gereja menjulang di Alhambra dan bunyi lonceng berdentang sepanjang hari sebagai penanda kebanggaan gereja atas keberhasilan Fernando dan Isabelle menguasai Granada.
Ya, 2 Januari 1492 adalah hari paling kelam dalam sejarah Muslim Andalus, atau sejujurnya, Muslim di seluruh dunia. Mahakarya peradaban gemilang itu sirna nyaris tanpa bekas. Literatur tarikh Islam menyebutnya sebagai al-firdaus al-mafqud, taman surga yang hilang.
Abu Abdillah Muhammad ash-Shaghir harus keluar dengan hina dari pintu belakang Alhambra, benteng sekaligus istana yang menjadi kebanggaan dan kebesaran para leluhurnya, Bani Nashr, selama hampir 250 tahun.
Sultan terakhir Granada ini terpaksa menyerah setelah tidak sanggup menunjukkan dirinya layak sebagai pemimpin besar di tengah badai tantangan umat.
Abu Abdillah berjuang ‘sendirian’ bukan karena dia pemimpin hebat. Tapi karena sudah begitu lama ‘meninggalkan’ umat. Bertahun-tahun merapat kepada musuh untuk sekedar bisa bertahan di kursi kekuasaan, tanpa peduli dengan nasib umat yang sejatinya siap mengorbankan apapun untuk membela kedaulatan dan kehormatannya.
Alhasil, bukan hanya penduduk Granada yang merasa berjarak dengannya. Dunia Islam pun serasa enggan untuk memberi perhatian lebih kepadanya. Bani Marin di Maroko hanya bersimpati tanpa arti. Penguasa Hafshawi di Tunis hanya berdiplomasi. Mamalik di Mesir terlalu lemah untuk sekedar membela diri. Dan, Sultan Bayazid di Turki, meski sempat mengirim kekuatan maritim, namun upayanya itu tidak cukup untuk menghentikan suratan takdir Ilahi.
Granada runtuh, Andalus pun lenyap. Keindahan Alhambra seakan menjadi cap terakhir yang dibubuhkan untuk menjadi bukti bahwa, di tanah Iberia ini sebuah peradaban pernah lahir dengan segala kebesarannya. Peradaban yang mengantar Spanyol dan Portugal, yang sebelumnya adalah Andalus Islam, menjadi penguasa dunia sepanjang abad 16 M hingga 18 M. Peradaban yang mengantar Eropa untuk menemukan cahaya (pencerahan/renaisans) dan memupus abad-abad kegelapannya.
Madrid, 5 Januari 2018
Ust. Asep Sobari LC.